Langsung ke konten utama

Jiwa yang Berangan

 

Jiwa yang Berangan

Salamiyah

 

Mentari perlahan menutup dirinya

Awan hitam hadir tak terduga, seolah akrab dengan hujan

Tetesan air turun membasahi jiwa yang menjerit letih

Jiwa yang terbirit-birit menjauhi masa kelam

Raga yang lumpuh oleh anggan perihal melupa

 

Tetesan air turun seolah berirama dengan angin

Memulihkan ingatanku tentang dirimu

Bayanganmu yang selalu menyelimuti qalbuku

Sukma ini mulai tersiksa dengan kenangan akan dirimu

Jarak dan waktu yang tak adil padaku

 

Lintas imaji ku, mengharap perjumpaan

Gemuruh dadaku yang menyuarakan harapan

Harapan semu dalam genangan air mata yang terus mengalir

Saat waktu membawamu hadir,  mewujudkan mimpi

Inginku lalui masa-masa citaku bersama mu

 

Semua tentang aku adalah kamu

Kamu bagian dari harapku

Perihal melupakanmu, aku tak mampu

Kenanganmu dan setumpuk harapanku

Serupa mentari yang walau terbenam hari ini

Ia akan kembali dikeesokan hari


 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cintaku di Periode 3

  Cintaku di Periode 3 Salamiyah   Cintaku kini ada di lingkaran yang semakin menyempitkan Kau datang bagai (Si) kovalen raksasa yang menghantui pikiran Titik lelah ku bagai natrium hingga silikon Meningkat saat kau hadir dalam hidupku Namun turun bagai fospor hingga belerang saat kau lenyap dari pandangan ku   Ketidak pedulianmu membuat hidup ini terikat logam   panas Semua ku hadapi dengan daya oksidasi yang kuat Walau terkadang aku lelah hingga akhirnya daya reduksiku mulai melemah Bahkan aku rela menambah energi ionisasi natrium hingga argon untuk menghadapi sifat mu Tapi semua itu tak berarti dihadapan mu   Namun, kini aku menyadari sesuatu tentang kita Hidup ini seperti ruang hampa tanpa kehadiranmu Tak akan berarti bila tanpa dirimu Engkau bukanlah separuh   jiwaku Tetapi engkau adalah seluruh   hidupku

Aku, Kamu, dan Pelabuhan Trisakti

  Aku, Kamu, dan Pelabuhan Trisakti Miyah Asheeqa             Aku seorang Pribumi yang hidup di masa pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1941. Hidupku selama ini lebih layak dibandingkan orang-orang Pribumi lainnya. Maklumlah Bapak ku menjadi orang kepercayaan Kompeni Belanda, itulah yang menyebabkan Keluargaku masih bisa merasakan kehidupan yang layak. “Non Sari, tunggu non....”, panggil salah satu pengawal bapak             Suasana pasar yang sangat ramai membuat hatiku sangat senang karena pasar Pelabuhan Trisakti ini hanya ada 1 kali dalam seminggu. Di sini aku dapat bebas dari pegawasan Bapak walaupun tetap ada anak buah bapak yang selalu mengikuti aku. Namun, aku selalu memiliki cara agar lepas dari pengawasan anak buahnya bapak. “Silahkan Non dibeli ikan yang masih segar ini hasil melaut saya”, panggil seorang pemuda “Iya, saya beli ikannya Kang”, jawabku...

Tatangkap Papuyu Bagincu

  TATANGKAP PAPUYU BAGINCU Salamiyah   Udin nang marantau di banua urang mancari duit gasan sasandaan balukar kuitan. Satahunan kada ada babulikan ka kampung, awak kurus karing kada ada nang mamasak akan. Si Udin taungut saurangan di muka lawang, kada lawas amat mandatangi. “Din, kita makanan nah di warung gadis nang langkar samalam” ujar Amat mambawai “Kada gin mat ai, liyur ku handak mamakan masakan kampung nah,” ujar Udin manyahuti “Nah mat ai, sama aku asa handak jua mamakan iwak di kampung… mahayal-hayal aku mamakan papuyu babanam bacacapan,” ujar Amat sambil managuk liyur “Mun kaya nintu kita baunjunan papuyu nah di sungai parak rumah pambakal,” ujar Udin sambil bapuat maambil umpan “Ih lajui dah, aku injami unjunnya lah,” ujar Amat pulang “Hiih ayuha, kita mambanam papuyu,” ujar Udin sambil membawa unjun   Wayah ngini sabarataan sungai rata-rata tarcamar sudah, nang limbah pabrik gin dibuangnya ka sungai. Nah ada jua nang manusianya nih pina bah...