Langsung ke konten utama

Pena Tuhan

 

Pena Tuhan

Salamiyah

 

Fajar datang menjemput sang mentari…

Senja pulang mengiringi perginya

Kalam Tuhan terdengar menyejukan hati

Takdir Tuhan menuaikan janji

 

Langkah kaki kita dijalan yang tak serupa…

Beda asa beda pula catatan hidupnya

Bertebaran untuk mencari ilmu-Nya

Melampaui jarak dan waktu yang tercipta

 

Langkah kecil itu mulai meniti sepanjang jalan…

Tak lelah memacu dengan pandu-Nya

Merenung dengan penuh harap dan impian

Walau hati goyah gemerlap dunia

 

Ketika langkah mulai melemah…

Hati tak mampu menahan hasrat yang tergoyah

Sang pengayom datang dengan gagah

Menata ulang tatanan yang telah lengah

 

Tuhan tlah berbuat baik untuk pencinta ilmu-Nya…

Angin malam membawa lembaran surat illahi

Rumput berinang-inung berdoa kemanfaatan ilmu-Nya

Diantarkannya pengayom dalam asa hidupnya

 

Selembar nasihat untuk  jiwa yang tenggelam…

Tak pernah bangga akan jasad yang dimiliki

Sang pengayom mengiringi dalam pinta illahi

Tak pernah goyah berjuang merais mimpi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cintaku di Periode 3

  Cintaku di Periode 3 Salamiyah   Cintaku kini ada di lingkaran yang semakin menyempitkan Kau datang bagai (Si) kovalen raksasa yang menghantui pikiran Titik lelah ku bagai natrium hingga silikon Meningkat saat kau hadir dalam hidupku Namun turun bagai fospor hingga belerang saat kau lenyap dari pandangan ku   Ketidak pedulianmu membuat hidup ini terikat logam   panas Semua ku hadapi dengan daya oksidasi yang kuat Walau terkadang aku lelah hingga akhirnya daya reduksiku mulai melemah Bahkan aku rela menambah energi ionisasi natrium hingga argon untuk menghadapi sifat mu Tapi semua itu tak berarti dihadapan mu   Namun, kini aku menyadari sesuatu tentang kita Hidup ini seperti ruang hampa tanpa kehadiranmu Tak akan berarti bila tanpa dirimu Engkau bukanlah separuh   jiwaku Tetapi engkau adalah seluruh   hidupku

Aku, Kamu, dan Pelabuhan Trisakti

  Aku, Kamu, dan Pelabuhan Trisakti Miyah Asheeqa             Aku seorang Pribumi yang hidup di masa pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1941. Hidupku selama ini lebih layak dibandingkan orang-orang Pribumi lainnya. Maklumlah Bapak ku menjadi orang kepercayaan Kompeni Belanda, itulah yang menyebabkan Keluargaku masih bisa merasakan kehidupan yang layak. “Non Sari, tunggu non....”, panggil salah satu pengawal bapak             Suasana pasar yang sangat ramai membuat hatiku sangat senang karena pasar Pelabuhan Trisakti ini hanya ada 1 kali dalam seminggu. Di sini aku dapat bebas dari pegawasan Bapak walaupun tetap ada anak buah bapak yang selalu mengikuti aku. Namun, aku selalu memiliki cara agar lepas dari pengawasan anak buahnya bapak. “Silahkan Non dibeli ikan yang masih segar ini hasil melaut saya”, panggil seorang pemuda “Iya, saya beli ikannya Kang”, jawabku...

Tatangkap Papuyu Bagincu

  TATANGKAP PAPUYU BAGINCU Salamiyah   Udin nang marantau di banua urang mancari duit gasan sasandaan balukar kuitan. Satahunan kada ada babulikan ka kampung, awak kurus karing kada ada nang mamasak akan. Si Udin taungut saurangan di muka lawang, kada lawas amat mandatangi. “Din, kita makanan nah di warung gadis nang langkar samalam” ujar Amat mambawai “Kada gin mat ai, liyur ku handak mamakan masakan kampung nah,” ujar Udin manyahuti “Nah mat ai, sama aku asa handak jua mamakan iwak di kampung… mahayal-hayal aku mamakan papuyu babanam bacacapan,” ujar Amat sambil managuk liyur “Mun kaya nintu kita baunjunan papuyu nah di sungai parak rumah pambakal,” ujar Udin sambil bapuat maambil umpan “Ih lajui dah, aku injami unjunnya lah,” ujar Amat pulang “Hiih ayuha, kita mambanam papuyu,” ujar Udin sambil membawa unjun   Wayah ngini sabarataan sungai rata-rata tarcamar sudah, nang limbah pabrik gin dibuangnya ka sungai. Nah ada jua nang manusianya nih pina bah...